Friday 7 September 2018

Mengatasi Rasa Takut

 


Takut, adalah rasa yang tidak mungkin tidak pernah dirasakan oleh seorang manusia. Datangnya seringkali tidak tentu waktu dan bisa dimana saja. Secara harfiah, dalam KBBI, takut diartikan sebagai merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, ataupun bisa juga disebut sebagai tidak berani.

Ada bermacam - macam hal yang kita takuti. Takut miskin, takut ketahuan, takut gagal, dan lain - lain. Saya sendiri termasuk salah seorang yang penuh ketakutan dalam hidup. Takut saat harus merantau. Jauh dari orangtua, teman - teman, lingkungan, rutinitas, dan kemudahan yang sudah terlalu terbiasa sejak lahir. Satu pertanyaan besar yang mendukung rasa takut itu adalah "Bagaimana saya bisa survive?" Namun seiring dengan waktu, rasa takut itu mulai tersisihkan oleh rasa lain yang lebih urgent, yaitu nekad karena butuh. Butuh kerjaan, harus nekad jalan sendiri saat di interview. Walau tidak tahu lokasi, tanya kanan - kiri, akhirnya sampai. Mulai lebih berani menghadapi orang - orang baru beserta berbagai macam karakternya dan permasalahan yang ditimbulkan.

Ketakutan lain yang saya rasakan adalah saat ingin mendaki gunung Bromo. Sampai setengah tua begini, ini adalah pertama kalinya saya mendaki gunung. Itupun karena mengikuti acara di tempat kerja. Untuk menghadapinya, saya mempersiapkan obat-obatan standar yang biasa digunakan saat perjalanan jauh (maklum sudah mulai tua, jadi bawaannya obat-obatan). Sebelumnya, tidak pernah terlintas di pikiran untuk mendaki gunung. Yang muncul di kepala saat mendengar cerita teman - teman yang sering naik gunung adalah, buang air dimana, ada hal - hal aneh tidak di hutan, waduh, ribet sekali pikiran saya kalau sudah jauh dari rumah.

Hingga saat itu tiba, sekitar jam 01.30 WIB pagi, saya dan teman - teman sekamar sudah mulai bersiap - siap. Bagi yang kuat dingin, boleh mandi dulu. Lalu berkumpul dengan tim yang lain, berangkat dengan jeep yang sudah disediakan untuk masing - masing kelompok. Sesampainya disana, perjalanan naik gunung dimulai dengan melihat sunrise. Lalu diteruskan ke bagian pasir berbisik. Lokasi ini kami tempuh dengan menggunakan jeep yang stand by di lokasi. Sesampainya di gunung Bromo, untuk menuju ke puncak, barulah ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa ada yang menggunakan jasa penyewaan kuda. Sementara saya, lebih memilih untuk berjalan kaki (selain untuk menurunkan kolesterol, sekalian ingin uji coba daya tahan tubuh, masih kuat atau tidak).

Sambil sesekali terengah - engah, istirahat, dan perasaan berdebar - debar tidak karuan karena khawatir pingsan di jalan, saya tetap melanjutkan perjalanan yang diusahakan sesantai mungkin. Sambil dalam hati terus berdoa, Ya Allah, mohon bantuan karena sendirian. Teman - teman yang ikut berangkat, sudah entah dimana. Sayang juga kesempatan baru dan bagus menurut saya jika dilewati begitu saja, tanpa naik ke puncak. Begitu berada tepat dikaki gunung, rasa ragu ingin naik atau tidak makin kuat. Khawatir kalau terjadi apa - apa siapa yang membantu. Akhirnya dengan menguatkan doa, tekad, sambil terbayang wajah suami yang biasanya menyemangati, saya melanjutkan naik tangga ke puncak Bromo hingga akhirnya, berhasil sampai di atas. Pakai selfie pula. Setelah merasa cukup, saya pun  mulai turun dengan perasaan yang benar - benar lega. Ada air mata yang sedikit tertumpah karena merasakan bantuan Allah dalam langkah yang "Sendirian". Saya benar - benar merasakan bahwa ternyata rasa takut adalah salah satu penghalang besar dalam langkah ini. Bukan usaha yang mudah juga buat saya mengatasinya, apalagi jauh dari siapapun yang saya kenal saat itu. Mungkin terdengar agak berlebihan, tapi hasil pergulatan perasaan orang memang berbeda - beda dan itulah yang saya rasakan.

Saya melanjutkan perjalanan turun hingga mencapai tempat pemberhentian jeep dan kembali ke penginapan untuk bersiap pulang ke Jakarta. Sesampai di rumah, dengan sedikit bergaya, saya mengucapkan "Pa, naik gunung lagi yuk, sekeluarga." Suamiku tersayang hanya menjawab dengan senyuman, sedangkan anakku yang berumur 8 tahun berkata "Tidak mau".

Bahasa Indonesia

Karangan

Sudah cukup lama penulis tidak berbagi pikiran di blog ini. Beberapa waktu ini, penulis merasa perlu untuk menyampaikan hal yang mungkin sebenarnya bagi orang lain tidak begitu menarik perhatian. Tapi bagi penulis sendiri, topik yang ingin penulis bahas ini cukup menantang kepercayaan diri dan kemampuan penulis. Adapun topik tersebut adalah tentang "Karangan". 

Sebenarnya dunia "Karang - Mengarang" ini sudah cukup lekat dengan diri masing - masing kita. Setidaknya, kita pernah diminta untuk menulis sebuah karangan pada saat masih di bangku sekolah dasar dan penulis pun dengan senang hati akan memulai dengan beberapa kalimat "sakti", seperti: pada suatu hari, pada zaman dahulu, saat dahulu kala, atau pada suatu waktu. Sepertinya saat itu, agak sedikit membingungkan bagi penulis untuk menemukan cara mengawali penulisan karangan dengan kalimat - kalimat yang lebih baik. Maklumlah, masih sedikit sekali ilmunya. Seiring dengan waktu, bukan berarti penulis semakin banyak ilmu dan semakin lihai menulis, tapi mulai bisa sedikit demi sedikit mengawali karangan atau tulisan dengan kalimat lain. Cukup lumayan, daripada tidak ada kemajuan sama sekali (cara pembelaan diri yang sedikit hopeless). Itupun masih terbatas untuk penulisan tentang sesuatu hal yang bersifat informatif. Bukan sejenis cerita pendek, apalagi novel.

Mungkin penulis seharusnya lebih aktif mengikuti berbagai training, seminar, dan lain - lain supaya ketrampilan penulis semakin canggih. Amin. Kenapa harus di-Amin-i? Karena ini adalah sebagian dari doa penulis. Dan untuk melengkapi tulisan penulis tentang hal ini, penulis merasa perlu menyisipkan informasi tentang karangan. Informasi ini penulis rangkum dari beberapa sumber. Tujuannya adalah sebagai bahan pengingat, khususnya untuk penulis sendiri.